Malam itu, Balai Dusun Logung di
Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono, terasa hidup. Bukan karena pesta, bukan pula
konser musik modern, melainkan denting gamelan, ketukan kendang, dan gerak artistik
para penari Reog yang berlatih penuh semangat. Saya dan teman-teman KKN dari
kelompok 12 UIN Walisongo menjadi saksi bahwa di tengah modernitas, budaya
lokal masih punya ruang untuk bersinar.
Tanggal 19 Juli 2025, kami
berkesempatan menyaksikan latihan Kesenian Tari Reog yang digelar para pemuda
dan pemudi Dusun Logung. Latihan dimulai pukul 20.00 dan berlangsung hingga
larut malam, sekitar pukul 23.30 WIB. Menariknya, latihan dibagi menjadi dua
sesi: kelompok putra tampil lebih dahulu, kemudian disusul oleh kelompok putri.
Yang membuat saya kagum bukan
hanya energinya, tetapi juga fakta bahwa semua alat musik dimainkan oleh para
pemuda yang belajar secara otodidak sejak mereka masih di bangku sekolah dasar.
Tidak ada pelatih profesional, tidak ada fasilitas mahal, hanya ada semangat
dan kecintaan terhadap budaya.
Pak Teguh, salah satu sesepuh
dusun sekaligus anggota aktif dalam kelompok kesenian ini, menyambut kami
hangat. Ia bercerita bahwa kelompok ini bernama Wargo Laras Budoyo, yang
berdiri sejak tahun 1992. Hingga kini, mereka masih rutin berlatih dua kali seminggu:
malam Rabu dan malam Minggu. Kelompok ini sering tampil di acara besar di
Sumowono, bahkan hingga ke luar kota seperti Demak, Kendal, Temanggung, dan
Solo.
Saya juga sempat berbincang dengan
Qorin Aliya Zaida, seorang penari cilik yang masih duduk di bangku kelas 8 SMP.
Wajahnya berseri saat menceritakan pengalaman tampil sebanyak 12 kali. “Banyak
temen yang ikut nari di sini jadi Qorin pengen ikut nari juga, biar bisa tampil
ke mana-mana, nggak cuma main di sekitar Desa Jubelan,” ujarnya polos tapi
penuh keyakinan.
Yang paling mengesankan adalah
sistem regenerasi mereka. Tidak ada pelatih tetap. Anak-anak muda yang sudah
bisa menari, secara sukarela mengajarkan pada adik-adiknya. "Di sini tidak
ada yang namanya pelatih mas," kata Pak Teguh. "Kami bebasan saja.
Siapa yang mau ngajarin silakan. Kalau mau datangkan pelatih juga kami tidak
punya dananya."
Latihan malam itu merupakan bagian
dari persiapan penampilan untuk peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus mendatang. Mereka akan tampil di Terminal Lama Sumowono. Semangatnya
terasa, tidak hanya dari irama musik dan gerak tari, tetapi juga dari tawa,
kerja sama, dan dedikasi yang tulus dari setiap anggota.
Melihat Wargo Laras Budoyo, saya
belajar bahwa budaya tidak akan pernah benar-benar punah selama ada orang-orang
yang mencintainya dan mewariskannya dengan tulus. Di Dusun Logung, Tari Reog
bukan sekadar pertunjukan, melainkan identitas, kebanggaan, dan bukti bahwa
warisan leluhur masih bisa hidup di tengah generasi muda, tanpa harus melawan
arus zaman.

0 Comments