Ada pagi yang
berbeda di Dusun Logung, Desa Jubelan. Matahari belum sepenuhnya tinggi saat
kami, mahasiswa KKN Posko 12 UIN Walisongo, berkumpul bersama warga di
pelataran masjid dusun. Hari itu, 22 Juli 2025, kami akan mengikuti tradisi
yang hanya berlangsung sekali dalam setahun: Nyadran Gunung.
Nyadran, dalam
budaya Jawa, adalah wujud syukur dan penghormatan kepada leluhur serta doa agar
kehidupan warga senantiasa diberkahi. Di Dusun Logung, tradisi ini dilakukan di
situs bersejarah dan sakral: Gedong Songo, yang terletak di lereng Gunung Ungaran,
Bandungan, Kabupaten Semarang.
Kami berangkat
bersama warga pukul 07.00 WIB, menempuh perjalanan ke atas gunung dengan
semangat yang hangat. Setiap keluarga membawa satu bakul berisi nasi dan lauk
pauk untuk dimakan bersama di lokasi nyadran. Tidak ada makanan mewah, hanya
olahan rumah yang sederhana namun penuh makna dan cinta.
Sesampainya di
Gedong Songo, kami bersama-sama menggelar daun pisang sebagai alas makan.
Sebelum makanan disantap, doa bersama dilantunkan. Doa itu bukan sekadar
untaian harapan atas hasil panen yang melimpah, tapi juga cerminan ketulusan
hati warga agar dijauhkan dari bencana dan marabahaya. Saat itu, kami merasakan
bagaimana alam, budaya, dan spiritualitas menyatu dalam kesederhanaan yang
begitu membumi.
Usai berdoa,
kami mulai menyantap hidangan secara lesehan. Tidak ada sekat antara siapa bawa
apa, semua lauk dibagi, semua nasi disantap bersama. Ibu-ibu dengan ramah
menawarkan gorengan dan jajanan tradisional, bapak-bapak bersenda gurau tentang
kenangan nyadran masa kecil mereka. Suasananya akrab, hangat, dan penuh
kekeluargaan.
Ibu Yuliani,
Plt Kepala Dusun Logung, telah mengajak kami bergabung dalam prosesi ini
jauh-jauh hari. “Besok tanggal 22 Juli ikut ke Gedong Songo ya, nanti
bareng-bareng warga nyadran gunung. Nggak usah masak buat sarapan, di sana kita
makan bareng-bareng,” katanya sambil tersenyum.
Dari tradisi
ini, kami belajar satu hal penting: bahwa syukur bisa dirayakan dengan sangat
sederhana, namun mampu mempererat ikatan sosial secara luar biasa. Dalam
kehidupan desa yang mungkin jauh dari hiruk-pikuk kota, kami menemukan
kedamaian yang lahir dari kebersamaan, doa, dan rasa saling memiliki.
Nyadran Gunung
bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia
dengan alam, dengan leluhur, dan dengan sesama. Dan bagi kami, mahasiswa KKN
Posko 12, ini menjadi pengalaman berharga yang tak hanya membuka wawasan
budaya, tapi juga menyentuh hati secara mendalam.

0 Comments